Skip to content

Seminar Nasional Politik dan Sejarah Budaya Indonesia

Jurusan Sosiologi UB kembali menggelar seminar nasional bertajuk Politik dan Sejarah Budaya Indonesia pada 21 November 2018 lalu bertempat di ruang pertemuan Perpustakaan Pusat UB. Pada kesempatan itu, hadir tiga orang pembicara utama; R.T. Soedarno Hadipuro, seorang pegiat budaya Jawa. Indhar Wahyu Wira Harjo, dosen dan peneliti kebudayaan Jawa dari Sosiologi UB, dan Richard Chauvel, sejarawan dan Indonesianis dari Melbourne University.

Judul seminar tersebut diambil karena didasari bahwa kebudayaan itu tidak netral. Ada banyak kepentingan yang melekat kepadanya. Maka kebudayaan harus dipandang sebagai sesuatu yang melekat dengan kepentingan para aktor di dalamnya.

Pada kesempatan tersebut, Soedarno mencontohkan dengan menggunakan produk kebudayaan artefak, berupa keris. Sejarah keris di Nusantara dimulai pada abad ke 5 menyebarnya di relief candi. Pada abad ke 8, keris menjadi senjata vital, namun dalam perkembangannya berubah menjadi atribut budaya dan tradisi yang mengandung  nilai-nilai mistik dan seni. Kemudian saat ini keris dijadikan cinderamata, dan masih banyak pula digunakan untuk acara tradisi.

Penyebaran keris tersebar hingga ke Asia tenggara. Di berbagai daerah Indonesia terdapat keris dengan sebutan lain, namun persebaran keris berhenti di Lombok, lalu mengarah ke arah timur sudah tidak ada keris. Posisi keris di jaman dulu mampu menggantikan posisi pria yang berhalangan hadir, pada saat pernikahan. Pada jaman sekarang, karena batu meteorit sudah jarang ditemukan hingga kemudian diganti menggunakan nikel sebagai bahan baku pembuatan. Proses pembuatan keris dihasilkan dengan proses yang rumit dan memakan waktu yang cukup lama, Sumenep Madura diakui menjadi kota keris Indonesia.

Sedangkan Indhar Wahyu menjelaskan hasil penelitiannya terkait Serat Centhini. Penelitiannya bertujuan untuk membongkar pesan tersembunyi dalam Serat Centhini, yang selama ini hanya dikenal sebagai kitab Kamasutra versi Jawa. Padahal, teks Serta centhini merupakan kumpulan pengetahuan yang sangat kompleks. di dalamnya tertulis pengetahuan yang beredar di seluruh penjuru pulau jawa, yang penulisannya diselesaikan pada tahun 1814. Pengetahuan tersebut diperoleh dari 3 daerah bagian dengan setebal 12 jilid dengan kira-kira jumlah 4.200 halaman dalam penelitian 9 tahun yang menghabiskan 10.000 ringgit.

Melalui hasil penelitiannya, Indhar Wahyu menemukan bahwa Serat Centhini menempatkan laki-laki lebih unggul dari pada perempuan dalam konteks keluarga. Selain itu juga dalam konteks sosial, laki-laki memegang peranan paling penting sebagai raja, guru dan pendidik. Perempuan diasumsikan didik oleh laki-laki. Di lain pihak, teks ini memiliki paradoks, bahwa serat ini juga mengunggulkan perempuan, seperti cerita penolakan tokoh Niken Tambangraras yang melakukan penolakan lamaran-alamaran yang datang berdasarkan aspek pengetahuan spiritualnya.

Dari kiri ke kanan: R.T. Soedarno Hadipuro, Richard Chauvel, dan Indhar Wahyu Wira Harjo

Pada kesempatan terakhir Dr. Richard Chauvel mendedahkan naskah berjudul Decentralising Culture and Identity in Reformasi Indonesia. Dia menjelakan bahwa politik berelasi dengan budaya. Sedangkan, budaya merupakan konstruksi sosial. Di saat yang sama terdapat peran pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota dalam mengidentifikasi daerahnya dalam budaya. Otonomi daerah memberi peluang setiap daerah mempromosikan dan menentukan identitas budaya daerahnya. Dalam perkembangannya, semua kebijakan hingga Orde Baru berusaha membuat hal-hal  yang cenderung menyamaratakan beberapa hal meskipun terdapat prularisme budaya di Indonesia.

Peran kebudayaan Jawa sangat dominan dalam pembangunan bangsa Indonesia, namun pada millennium ke 3 kebudayaan Jawa mulai dipinggirkan dan generasi penerusnya mulai berpaling karena dianggap ketinggalan zaman. Saat inipun, terdapat banyak daerah yang mulai mempertanyakan budaya lokal dan identitas kebudayaan sendiri, seperti Riau, Nias, Bugis, juga Papua. Ini merupakan konsekuensi dari kebijakan Orde Baru selama tiga dekade yang cenderung melakukan penyeragaman kebudayaan.

Department of Sociology Brawijaya University

Back To Top